DARI PENGEMBARAAN SEORANG PUTRA
KERAJAAN MATARAM
Oleh : Rahman Ali, ST
Cerita ini bermula dari pecahnya
Kerajaan mataram lama disebabkan karena datangnya Bangsa Portugis untuk
menjajah wilayah itu. Karena tidak ingin dijajah akhirnya anak-anak raja
Mataram lama berpencar untuk menyelamatkan diri.
Salah satunya bernama Raden Probodani.
Raden Probodani pergi mengembara ke daerah Sumatera, dimana pada masa itu Pulau
Sumatera dan Pulau Jawa belum dibatasi Selat Sunda.
Pengembaraan Raden Probodani ini
sampailah ke Lubuk Sekumbung daerah Muara Jambi, sesampai di Lubuk Sekumbung
Raden Probodani memutuskan untuk meneruskan pengmbaraannya ke hulu Sungai
Batanghari.
Sesampai di Persimpangan Sungai Muara
Tembesi Raden Probodani memutuskan mengambil arah kiri pada persimpangan Sungai
tersebut.
Ia pun melanjutkan perjalanannya,
sesampai di Muara Merangin sebelah hilir Pauh Raden Probodani menemukan Munam-munam (sampah pembersih rambut)
hanyut. Berdetak di hati Raden Probodani. “Ada kehidupan di daerah hulu
sungai,” hatinya berkata.
Ia pun melanjutkan pengembaraanya
menyusuri Sungai Tembesi terus ke hulu sungai. Sesampai di Daerah Sarolangun,
Muara Sungai Batang Asai. Raden Probodani kembali menemukan Munam-munam hanyut, hal ini semakin
membuat Raden Probodani penasaran. Ia pun terus melanjutkan perjalanannya,
sesampai di Batu Penyabung Raden Probodani tak menemukan lagi Munam-munam hanyut, lalu ia memutuskan
untuk kembali ke hilir.
Sesampai di Teluk Kecimbung ia
melihat ada Tujuh Putri Kayangan sedang mandi dan berkecimbung (menggerak-gerakan kaki di air).
Raden Probodani terus mengamati ke
Tujuh Putri Kayangan ini mandi. Setelah selesai mandi satu-persatu Putri
Kayangan ini mengambil pakaian dan terbang.
Tiga hari Raden Probodani mengamati
aktivitas Tujuh Putri Kayangan ini, dalam pengamatannya Raden Probodani
mengetahui bahwa pada saat Putri Kayangan ini turun untuk mandi, turunnya
diawali oleh Putri paling Bungsu dan Terbang ke Kayanganpun Putri Bungsulah yang terakhir.
Pada hari ketiga Raden Probodani
berniat mencuri pakaian Putri Bungsu, setelah mencuri pakaian itu karena
kesaktiannya Raden Probodani merubah rupanya menjadi seorang kakek yang tua
renta sambil memancing di hilir tempat pemandian Putri Kayangan itu, Pakaian dan
kain Putri Bungsu yang dicurinya ia sembunyikan di bawah pahanya.
Seperti biasa setelah mandi, keenam
aputri terbang ke kayangan diawali dari Putri yang lebih tua, sewaktu Putri
Bungsu ingin mengambil pakaiannya, iapun terkejut karena pakaiannya ternyata tidak
ada. Putri bungsupun mencari pakainnnya sampai kehilir tempat pemandian,
sewaktu mencari ia melihat seorang kakek tua sedang memancing. Putri Bungsupun
bertanya kepada kakek itu “Kek, adakah kau melihat pakaian kain ku hanyut,”
kata Putri Bungsu. Kakek tua menjawab :”Usahakan dapat, umpan pancingku tak
disentuh oleh ikan”
Keenam Putri Kayangan yang telah
terbang ke Kayangan terkejut melihat Putri Bungsu tidak ada bersama mereka,
merekapun kembali kebawah ( ketempat pemandian,red ) untuk mencari sang adik,
sesampai di tempat pemandian keenam Putri Kayangan terkejut melihat Putri
Bungsu bersama si kakek tua, bertanyalah Putri Tertua kepada Putri Bungsu
mengapa dirinya tak terbang ke kayangan.
“Mengapa kau tak pergi ke kayangan,
wahai adikku,” kata Putri Tertua. Putri Bungsu menjawab :”Pakaian dan Kainku
telah hilang, bagaimana aku bias pergi kekanyangan”
Putri Kayangan ini pun menitipkan
adiknya kepada si Kakek tua karena keenam Putri Kayangan ini ingin pergi ke
Kayangan. Sesaat melihat Kakak-kakaknya terbang Putri Bungsu menoleh kea rah
Kakek Tua dan sekejap itu pula wajah kakek tua itu berubah menjadi wajah Pria
Muda yang Tampan.
Karena ketampan Raden Probodani,
Putri Bungsu meminta untuk dipersunting (dikawinkan), namun Raden Probodani
menolak karena Putri Bungsu hanya dititipkan kepadanya dan bukan untuk
dipersunting. Seperti biasa, Keenam Putri Kayangan keesokan harinya turun untuk
mandi di tempat pemandian sambil menjenguk Putri Bungsu, sesampai di tempat
pemandian keenam Putri Kayangan inipun terkejut, karena Putri Bungsu tidak lagi
bersama kakek tua namun telah bersama Pria Tampan. Putri tertua bertanya kepada
Putri Bungsu : “Adikku, siapa yang sedang bersamamu saat ini, kemana kakek tua
yang bersamamu kemarin?”
Putri Bungsu menjawab : “Pria tampan
inilah kakekk tua yang kemarin bersamaku”
Karena ketertarikannya kepada Raden
Probodani, Putri Bungsu meminta kepada Keenam kakaknya untuk merestui karena
dirinya ingin menikah dengan raden Probodani. Keenam kakaknyapun memberi restu
dengan syarat apabila sudah mendapat keturunan nanti, Putri Bungsu harus
kembali ke asalnya, Kayangan.
Setelah menerima restu dari keenam
kakaknya, Putri Bungsu akhirnya menikah dengan Raden Probodani. Pernikahan
mereka dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Si sulung bergelar Raden
Suaso karena gigi gerahamnya berbahan suaso dan acap disebut Raden Sakti karena
si Sulung, sedangkan si bungsu bernama Putri mayang Mengurai.
Setelah lama berumahtangga, pada
suatu hari raden Suaso bercerita kepada Sang Ibu tentang rahasia ayahnya yang
selama ini tak diketahui oleh Sang Ibu.
Ia menunjukkan kepada Sang Ibu tempat dimana Sang Ayah Raden Probodani
menyembunyikan Pakaian dan kain yang dicuri Sang Ayah sewaktu Sang Ibu
kehilangan pakaian dan kain sewaktu sadang mandi dahulu.
Sang Ibu pun teringat akan syarat
yang diberikan keenam kakaknya bahwa ia harus kembali ke Kayangan setelah
memiliki keturunan, akhirnya Sang Ibu kembali menggunakan pakaian dan membawa
kedua anaknya ke pulau.
Di pulau itu kepada Putri Mayang
Mengurai dititipkannya kain dan juga rambut Sang Ibu (menurut berita yang dapat
dipercaya panjang rambut itu tujuh hesto) setelah menitipkan kain dan rambutnya
Sang Ibupun terbang ke kayangan. Raden Suaso dan Putri Mayang Mengurai menanti
Sang Ibu di Pulau itu (pulau ini pun akhirnya diberi nama Pulau Menanti, Pulau
Menanti ini berada di Desa Teluk Kecimbung).
Sesaat setelah Sang Ibu terbang,
Raden Probodani pun kembali dan melihat kedua anaknya berada di pulau.
Raden Probodani bertanya kepada kedua
anaknya “Mengapa kalian berdua berada disini (pulau)?,” kata Raden Probodani.
“Kami menanti Ibu,” jawab Raden Suaso
dan Putri Mayang Mengurai.
Raden Probodani akhirnya membawa
pulang kedua anaknya kerumah.
Lama ditinggal Istri menciptakan
kegelisahan di hati Raden Probodani, pasalnya tak ada lagi yang mengurus kedua
anaknya. Untuk menggantikan posisi Sang Ibu, Raden Probodani memutuskan untuk
merantau ke daerah Sumatera Selatan dan akhirnya menculik Putri Raja dan dibawa
pulang ke rumah.
Adanya kehadiran Ibu Tiri membuat
Raden Suaso merasa tidak nyaman berada di rumah, iapun memutuskan untuk
mengembara.
Keputusan untuk pergi telah bulat di
hati Raden Suaso, iapun memulai pengembaraannya dengan mengikuti hulu Sungai
Batang Asai, ia pun akhirnya sampai di Tambak Rantau Kelaso (sebelah mudik
Dusun Mengkua) di sini Raden Suaso termenung, sesaat dirinya termenung ia
mendengar suara gung gendang di dekat Muara Sungai.
Raden Suaso memutuskan untuk bertapa
di Muara Sungai ini, sewaktu melakukan pertapaan Raden Suaso mendapat petunjuk.
Dimana dalam petunjuk itu mengatakan “apabila ada yang hanyut esok hari, maka
Raden Suaso diminta untuk berenang mengambilnya,” pagi hari sewaktu ia
terbangun, Raden Suaso melihat sekumpulan buih berputar-putar ditengah Muara
Sungai.
Lalu Raden Suaso memutuskan berenang
mendekati sekumpulan buih itu, ketika didekati ternyata di dalam sekumpulan
buih itu Raden Suaso menemukan Seorang
Putri, Raden Suasopun menyelamatkan Putri itu ke tepi sungai.
Setelah menyelamatkan Putri Setangkai
Buih, timbulah rasa ketertarikan di hati Raden Suaso. Ternyata Putri Setangkai
Buih juga merasakan hal yang sama, Putri pun bertanya kepada Raden Suaso,
dimana sebaiknya mereka bersemayam. Untuk menjawab pertanyaan Putri Setangkai
Buih, Raden Suaso memutuskan untuk bertapa kembali.
Dalam pertapaan itu ia mendapat
wasiat untuk mencari tempat di ulak sungai duo muaro, iapun memutuskan untuk
hilir Sungai Batangasai dan menemukan ulak sungai duo muaro di tepian napal
Dusun Mesjid Desa Lubuk Resam saat ini.
Lama-kelamaan Raden Suaso dan Putri Setangkai
Buih melahirkan keturunan-keturunan mereka, hingga akhirnya terbentuklah sebuah
dusun. Pada masa itu Dusun ini di pagari (kuto) dan di pintu gerbang ditaruh
tempurung tengkorak manusia, itulah kenapa awalnya Dusun ini disebut “Kuto
Tempurung”.
Setelah terbentuk Dusun Kuto
Tempurung, pada suatu masa masyarakat menemukan telur buaya kumbang (buaya
hitam dengan ada tanda putih di ubun-ubunnnya) di sungai, lalu oleh Raden Suaso
telur itu ditaruh di peraku (tempat mencuci kaki) hingga telur buaya kumbang
itu menetas. Setelah menetas buaya kumbang dibuatkan kolam dan dimasukkan ke
dalam kolam, setelah cukup besar buaya kumbang itu pun dipindahkan ke sawah.
Saat tubuh buaya kumbang mulai tumbuh besar dan dirasa sawah tak cukup lagi
menampungnya, akhirnya oleh Raden Suaso melepaskan buaya kumbang ke Sungai,
pelepasan ini dilakukan di Tepian Napal Dusun Mesjid Desa Lubuk Resam saat ini.
Sewaktu ingin dilepas, Raden Suaso berikrar kepada Buaya Kumbang, bahwa dirinya
(buaya kumbang) tidak boleh menganiaya anak cucu keturunan dari Raden Suaso.
Ternyata Buaya Kumbang ini memiliki
kesaktian, apabila dia ke daratan ia berubah menjadi Harimau Kumbang, dan
apabila ia ke sungai ia kembali berubah menjadi Buaya Kumbang. Inilah latar
belakang sejarah yang menjadikan kuto tempurung diubah namanya menjadi “Lubuk
Resam”, Lubuk adalah tempat tinggal Buaya, dan Resam adalah tempat tinggal
Harimau.
nak ngomênt apo aq ni, dah lengkap galo